Saya mendedikasikan hidup saya untuk mencari nafkah, bangun sebelum matahari terbit, dan bekerja sampai tubuh terasa remuk. Setiap lembar uang yang saya serahkan adalah hasil dari jam-jam pengorbanan, menelan kepenatan dan menunda semua kebutuhan pribadi saya. Yang penting bagi saya adalah melihat keluarga terurus—tagihan terbayar, makanan terhidang, dan anak-anak tersenyum. Namun, dalam proses ini, saya seolah menghilang; saya pulang bukan sebagai suami yang dirindukan, melainkan hanya sebagai mesin penghasil uang. Kebutuhan fisik dan emosional saya selalu dikesampingkan, menjadi daftar terakhir yang tak pernah tercentang.
Hal yang paling menyiksa bukanlah beban pekerjaan, melainkan sambutan dingin dan sikap acuh tak acuh yang selalu saya terima di rumah. Saya membawa rezeki, tetapi tidak pernah membawa ketenangan, karena saya harus selalu mengemis untuk mendapatkan sisa-sisa kasih sayang yang seharusnya menjadi hak saya tanpa diminta. Rasanya seperti saya harus terus membuktikan diri hanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai seorang suami, bukan sekadar penyedia. Saya hanya ingin dihargai, dilihat, dan dicintai sebagai seorang manusia yang juga butuh istirahat, bukan hanya dinilai dari seberapa banyak keringat yang saya hasilkan.